14.8.16

Paranoia

Tiga hari yang lalu aku mengirimkan pesan kepadanya. Lewat instant messaging yang ramai digunakan anak kuliahan jaman sekarang. Aku bukan anak kuliahan, dia juga bukan. Pesan itu langsung ia baca, langsung ia balas. Beberapa hari sebelumnya kami tidak saling bercerita. Bagaimana bisa? Dia sibuk dengan dua hal. Pekerjaannya, kemudian kekasihnya.

***

Tidak seperti kisah-kisah kebanyakan, aku tidak mengenalnya dari media sosial yang harus di-swipe ke kanan atau ke kiri. Aku mengenalnya tidak sengaja. Seperti meminum air yang sudah diminum orang lain di undangan pernikahan karena diletakkan berdekatan dengan yang belum diminum. Sudah satu tahun aku mengenalnya. Dia tidak minum kopi dan tidak merokok. Aku sering mempertanyakan dalam hati bagaimana mungkin dia bertahan menghadapi peliknya dunia tiada maaf ini tanpa secangkir kopi mahal dan sekotak rokok menthol?

Seperti ketakutanku pada beberapa hal yang nonsense dan mengganggu, dia juga sesuatu yang ingin aku lewatkan. Beda dengan ketika aku masih sekolah SD atau SMP. Aku selalu takut banyak hal, tapi dengan mudah aku dapat melupakannya dan kembali menikmati hari-hariku. Semakin bertambahnya usiaku, semakin sulit bagiku untuk melupakan hal-hal yang ingin aku lupakan. Bukan karena ingatan yang bertambah intense, hanya saja childlike mindset untuk mengeksplor hal-hal baru jadi kurang terasah.

Setahun sudah aku berhasil untuk tidak terlalu memikirkannya. Pencapaian luar biasa itu rusak karena minggu lalu kami tidak sengaja bertemu di suatu tempat yang tidak begitu jauh dari kantorku. Tidak banyak hal yang spesial, tapi untuk pertama kalinya dalam setahun belakangan aku kembali merasakan rasa penasaran yang euphoric. Rasa yang menghantuiku kembali, tapi tidak ku lawan karena aku tahu itu akan hilang dengan sendirinya ketika waktu terus bergulir.

***

Lucu rasanya duduk di rumah sendirian sambil mendengarkan rintik hujan di sore hari. Mengapa ketika orang menghilang dia tidak bawa sekalian perasaan yang disebabkannya? Aku duduk bersama paranoia-ku, sedikit rinduku, juga gumpalan keinginanku untuk bertanya. Tiga hari yang lalu ia mengajakku bertemu hari ini. Tidak ada cerita lebih lanjut mengenai hal ini. Aku beranjak ke dapur, menyeduh secangkir white tea, dan memaafkan kealpaannya.

No comments:

A bit of Romcom

Most of guys I've ever dated now are married. To wonderful women? Sure, I guess. No, I'm not saying this in a mellow tune, or certai...