27.2.09

Diary of A Riddiculous Writer (1)

Writer’s Block itu sangat wajar, kan?. Tapi kalau sudah melampaui 3,5 bulan………… Keterlaluan. Ya, bukan hanya karya-karyaku saja yang berhenti bertelur, tapi juga hidupku. Tiga setengah bulan terasa begitu panjang, sepi, kosong, dan rutin.
Semua berjalan terlalu rutin sampai-sampai ingin rasanya kulempar laptop di depan mukaku ini jauh-jauh. Seorang mahasiswi arsitektur yang sibuk dengan sekuel novel bestsellernya tentu sesuatu yang enak didengar, tapi tidak jika ditambahkan pacar yang minta putus tiba-tiba, kesepian, dan ayah ibu yang selalu saja beda pendapat di masalah finansial.
Semua tahu, kuliah di universitas swasta yang bagus memang jauh dari kata murah, tapi itulah resiko yang ayah dan ibuku ambil. Mereka menggagalkan mimpiku untuk mengambil full-scholarship untuk kuliah di Inggris jurusan Sastra Gothik. Ya Tuhan, apa salahnya belajar Sastra Gothik?
Mimpi pertamaku dicoret mentah-mentah oleh mereka, begitu juga mimpi yang kedua, bertemu Chris Martin. Jelas mimpi kedua tercoret karena Inggris sekarang jadi terasa jauh lagi dari dekapan. Aku penggemar berat Coldplay. Jangan ragukan koleksi CD dan Kaset Coldplay-ku. Lengkap kap kap kap bahkan sampai ke versi karaoke bajakan karya Glodok.
Mimpi ketigaku………. Memalukan sekali untuk diakui, tapi aku… ingin berhenti kuliah lalu menikah dengan kekasihku yang mahasiswa kedokteran itu. Yang kabur dari hidupku hanya dengan alasan aku bukan wanita yang dia cari.
Perfect.
Memang sih, di antara hectic-nya hidupku masih ada secercah harapan. Novel pertamaku yang bercerita tentang seorang perantau dari Kepulauan Karimun yang akhirnya sukses jadi motivator terkenal laku keras tanpa alasan yang jelas dan jadi bestseller. Dengan profit novel itulah aku memutuskan untuk nge-kost saja. Dengan alasan keadaan di rumah kurang kondusif untuk membuahkan karya-karya hits lainnya, ayah dan ibu pun akhirnya mengizinkan aku untuk menjalani hidup baru di kost-an ini.
Sebenarnya sih ini bukan benar-benar rumah kost. Lebih seperti town house, namun dengan ukuran lebih kecil dan fasilitas yang lengkap. Lumayan, paling tidak hidup bisa terasa lebih nyaman dan aman.
Ada yang pernah bilang, kuliah arsitektur itu untuk orang yang sudah bisa menggambar, bukan untuk yang ingin belajar menggambar. Jujur aja, satu-satunya gambar yang mahir kugambar hanya dua bongkah gunung dengan sungai melintas miring ke pertengahan dua gunung dan sawah di kanan-kirinya. Me-nye-dih-kan.
Kulirik ponselku, tiada kabar. Masih kosong. Terhitung hari ini, sudah 78 hari Kai hilang begitu saja. Masih terngiang di otakku dan melintas tepat dalam buncahan emosiku malam di mana ia mengakhiri semuanya. Kami baru saja selesai nonton 300 di bioskop dan entah karena muak lihat banyak darah (ga seharusnya sih, dia kan calon dokter) atau apa... Dia ingin mengakhiri hubungan kami yang sudah berjalan 2 tahun lebih.
Well, it’s all his lost. Tapi aku tetap kehilangaaaaaaaaaaan! Biarlah, pergi sana yang jauh. Absennya Kai dalam hidupku memang nyaris mengubah segalanya. Kecanduan kopi, insomnia, gila kerja, dan penyendiri. Itu sebagian dari perubahanku yang kusadari. Sisanya males deh menyebutkannya.
Ya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Serene. Bukan Serena, seperti yang di Gossip Girl ataupun merk mobil. Sembilan belas tahun, pekerjaan sambilan jaga toko CD di depan town house, Ambience, setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis dari jam 17.00-22.00. Jago masak, biarpun jiwa eksperimental masih kurang dan….. single.


to be continued

2 comments:

Nunu Fithria said...

aaaa looking forward for the next parts! :--)

Dayen said...

me too

A bit of Romcom

Most of guys I've ever dated now are married. To wonderful women? Sure, I guess. No, I'm not saying this in a mellow tune, or certai...