28.2.09

Diary of A Riddiculous Writer (2)

No way return back now, semoga Yang Maha Kuasa menghargai perjuanganku dan segala tetes keringat juga pegalnya tangan demi menciptakan tugas-tugas gambar yang sama sekali tidak menarik untukku. Ayah dan Ibuku memilihkan Arsitektur sebagai jurusan yang harus kuambil untuk satu alasan konyol. Mereka ingin aku membangunkan sebuah rumah dengan gazebo untuk mereka. Astaga! Toh, tanpa harus jadi arsitek pun sebenarnya aku bisa membangunkan mereka sebuah rumah cantik plus bunga warna-warni dan gazebo, asal……… ada uangnya.
Inspirasi tak kunjung datang ke otakku. Buntu. Ingin rasanya kutelepon Kai sekedar minta pencerahan ide. He’s my muse for sure. Tapi ngapain jugaaaaaaaaa? He left me for some untold reasons and that fact hurt a lot. Kuteguk kopi dalam mug Aquarius-ku banyak-banyak. Kenapa sih semua orang menyarankanku untuk menulis sebuah sekuel? Apa yang harus kulakukan lagi terhadap seorang motivator kondang asal Kepulauan Karimun?
Aku ingin membuat cerita yang baru. Yang full of thriller. Tapi sama sekali minus ide. Apa yang salah sih denganku? Maaf ya Tuhan, bukan berarti aku tidak bersyukur… tapi ini semua menyebalkan sekali.
Pernah terbersit di otakku untuk mengambil seutas tali rafia dan mengakhiri semuanya, tapi toh tali rafia tidak akan cukup kuat untuk menarik nyawaku dan aku tidak akan menghabiskan uangku yang pas-pasan untuk sekedar beli tali tambang dan bunuh diri. I’m not a loser, you know. Aku masih ingin membenahi semuanya, meskipun sulit.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan di pintu depan.
“Masuk aja, gue lagi sibuk, men” teriakku. Lalu muncullah sosok laki-laki itu, yang tidak pernah lepas dari jaket kulitnya. Kulit wajah putih tanpa jerawat namun sangat pucat seperti mayat. Rambut ikalnya itu jarang disisir, dan kaos favorit di dalam jaketnya adalah kaos Rolling Stone keluaran Junkfood hadiah dari papa mamanya yang tinggal di USA. Namanya Eriol. Aneh ya? Kayak tokoh kartun di Card Captor Sakura. Kayak nama pembersih lantai kamar mandi. Tapi aku lebih suka memanggil dia Er. Tetanggaku yang satu ini jarang sekali ngomong, tukang pinjam-tapi tidak mengembalikan, lebih tua dua tahun dariku dan pernah ambil Diploma in Performing Arts di NAFA. Tapi tetap bergaya a la gembel. Dia seorang ex-junkie. Maklum pemusik. Sekarang sih sudah tobat, tapi belum juga rajin salat.
“Mau pinjem apa?” tanyaku sinis tanpa meliriknya.
“Gak, mau numpang mandi” jawabnya santai sambil ngeloyor masuk kamar mandiku.


to be continued

2 comments:

Nadia Oktovianti said...

rin, lanjutannya cepetann.hehhehe .ga sabar pingin baca lagi gw..

Istina said...

where's the third part? btw I'm working on my project as well hehe, just wait for it :D

A bit of Romcom

Most of guys I've ever dated now are married. To wonderful women? Sure, I guess. No, I'm not saying this in a mellow tune, or certai...