Ku temukan
namanya dalam buku favoritku. Baru saja ku beli dan baru saja kubuka
bungkusnya. Aroma kertas baru masih menyeruak. Jilid buku itu kaku dan pinggir
halamannya masih tajam. Aku tersenyum getir seraya menutup kembali lembarnya.
Ku coba untuk mencari ketenangan dari kumpulan kisah sedih yang barang
kali dapat menghiburku. Terkadang, kesedihan itu terasa sangat nyaman. Ia menggerogoti segala harapan tapi membuatku enggan untuk bergegas bahagia. Entah bagaimana, malah namanya yang pertama
ku lihat. Seakan semesta tidak puas menertawakan aku dan leluconnya.
Ku
buka kembali buku baruku yang tadi sempat ku tutup. Aku tersenyum lagi, kali
ini lebih baik, teringat malam dimana aku memutuskan untuk tidak lagi
mencintainya. Bukan sekadar karena dia tidak mencintaiku, tapi karena aku ingin
melihat dia bahagia. Entah dengan siapa atau dengan wanita yang tidak akan menyakitinya dengan balasan dingin atau jawaban singkat, dengan tidur yang terlalu cepat, atau emosi yang luar biasa mendesak. Aku kemudian teringat lagi akan hari dimana aku memutuskan bahwa mungkin saja, atau
pasti, ada wanita lain di luar sana yang lebih bahagia mendengar telepon berdering
darinya. Wanita yang akan terjaga dan tersenyum ketika dia pulang larut. Wanita
yang akan menemaninya meminum kopi-kopi bohongan itu sambil menunggu hujan reda. Menunggu kabarnya yang sibuk sekali demi sepatah dua patah kata halo. Memeriksa apakah dirinya sudah makan. Dan semua-semua yang sering kali aku lewatkan. Semua-semua yang tidak lagi sanggup untuk aku lakukan.
Ku
teruskan ke halaman berikutnya. Aku
tersenyum lagi. Kali ini lebih lama dan lebih bijaksana.
Ah, mungkin lain kali, melihat namanya akan menjadi
biasa saja.
Desember 2014
No comments:
Post a Comment